
WORLD SLEEP DAY yang diperingati setiap 15 Maret kali ini bertema “Sleep Equity for Global Health”. Tidur merupakan hal yang penting bagi kesehatan, namun perbedaan yang nyata dalam kesehatan tidur masih terjadi di antara populasi di seluruh dunia, sehingga dapat menciptakan beban tambahan dan memperkuat kesenjangan kesehatan.
Hari Tidur Sedunia ini merupakan kesempatan untuk mempromosikan kesehatan tidur. Bukan mempromosikan sering tidur, apalagi berteguh dengan ungkapan : “Tidur saja berpahala”. Ajakan tidur berkualitas ini juga dapat menemui kesulitan tatkala disampikan kepada mereka yang dikejar-kejar banyak tanggungan dan tagihan: hutang uang, barang, kerja dan janji.
Saya tergelitik saat membaca publikasi “Sleep in a comparative context: Investigating how human sleep differs from sleep in other primates” karya Charles Nunn dan David Charles dalam American Journal of Physical Anthropology edisi 2018 (bisa diperiksa disini: doi: 10.1002/ajpa.23427). Mereka membandingkan waktu tidur manusia (Homo erectus) dengan 10% spesies dalam anggota ordo Primates yang berjumlah 300 spesies. Dalam taxonomi, anggota ordo Primates meliputi manusia dan beragam spesies lain, khususnya dari kelompok kera dan monyet. Rata-rata waktu tidur manusia hanya sekitar 7 jam sehari, sedangkan yang non-manusia bisa tidur sekitar 9 – 12 jam sehari. Manusia tidak hanya tidur lebih sedikit dibandingkan kerabat primata ini, tetapi juga tidur lebih sedikit dari yang diperkirakan jika serangkaian faktor biologis dan gaya hidup diperhitungkan (semakin tinggi tuntutan kerja dan prestasi, keinginan menikmati ragam hiburan, dst.).
Para peneliti menggunakan rekaman elektoroda dan hubungan perilaku/biologi dengan pola tidur pada subjek risetnya. Mereka menemukan bahwa perkiraan kebutuhan waktu tidur manusia adalah hampir 10 jam sehari. Namun, dalam pengukuran di kehidupan nyata menunjukkan bahwa manusia setidaknya kekurangan waktu tidur sekitar 2 – 3 jam dalam sehari. Ada banyak alasan di balik kenyataan ini. Mereka mengusulkan beberapa hal berdasarkan landasan evolusi: Pertama, tatkala kita meninggalkan lingkungan yang aman di pepohon (arboreal) dan mulai berjalan di daratan (terestrial), beragam bahaya predator membuat leluhur kita lebih berisiko untuk tidur. Oleh karena itu, leluhur kita tidak bisa membiarkan dirinya terlalu banyak waktu untuk mengantuk. Senantiasa terjaga dan mawas. Kedua, sejak leluhur kita makin menikmati untuk mempelajari beragam pengetahuan dan keterampilan baru serta berbagi kebersamaan (kebutuhan bersosialisasi) sungguh makin membuang-buang waktu untuk tidurnya.
Warisan evolutif itu makin jelas dalam kehidupan keseharian manusia saat ini. Beragam tuntutan kinerja dan meluaskan peluang untuk melunasi tanggungan dan tagihan demi keamanan keberlasungan hidupnya makin mengurangi kebutuhan waktu tidurnya. Waktu tidurnya makin berkurang seturut beragam tuntutan untuk bersosialisasi. Beragam media sosial saat ini juga bisa berandil makin berkurangnya kebutuhan waktu tidur manusia.
Oleh : Rusyad Adi Suriyanto, M.Hum.