Podiatri berakar dari bahasa Yunani, yakni pous, pod = kaki, dan iatros = dokter. Jadi podiatri itu cabang dari ilmu kedokteran yang berkonsentrasi pada pengetahuan, diagnosis dan terapi tungkai dan kaki. Dalam tulisan sangat singkat ini, yang saya maksudkan sebagai podiatri ini merujuk kepada anatomi dan fisiologi kaki hominid, termasuk dalam hubungannya dengan persendian dan tungkainya. Bahkan kadangkala juga dikaitkan dengan tulang belakang dan sistem rangkanya.
Podiatri ini telah mendapat tempat istimewa dalam kajian evolusi manusia dalam kaitannya dengan temuan-temuan fosil dari sisa-sisa ekstremitas hominid dalam lapisan-lapisan Pleistosen atau sebelumnya yang memperlihatkan adanya perbedaan-perbedaan anatomisnya yang makin samar seturut perjalanan waktu kemari. Podiatri telah berkontribusi dalam paleoantropologi, yakni berperan memberikan perspektif yang lebih luas dalam penelitian sisa-sisa hayat hominid sampai manusia arkeologis yang mengkosentrasikan pada anatomi dan aktivitas tungkai dan kakinya. Sejauh ini temuan-temuannya makin melimpah, termasuk di Indonesia, yang dapat meliputi tulang-tulang tungkai dan kaki, bahkan jejak-jejak kakinya. Pada bulan Agustus 1891, Marie Eugène François Thomas Dubois telah menemukan gigi molar isolatif yang masih diragukan sebagai hominid dalam suatu ekskavasi di Trinil, Ngawi, Jawa Timur. Dua bulan kemudian, satu meter dari tempat temuan tersebut telah ditemukan atap tengkorak, fosil yang akan dikenal sebagai Pithecanthropus. Pada bulan Agustus 1892 ditemukan fosil ketiga yang berupa tulang paha kiri hampir lengkap, berjarak sekitar 10 – 15 meter dari temuan tersebut. Beliau telah menerbitkan sebuah deskripsi dari temuan-temuan fosil itu, dan memberi nama taksonomis Pithecanthropus erectus (“manusia kera yang berjalan tegak”) pada tahun 1894. Publikasi ini menggemparkan jagat ilmu pengetahuan waktu itu karena personifikasinya tidak menggambarkan sebagai kera atau manusia, tetapi sebagai suatu makhluk antara. Seketika itu pula reaksi-reaksi merebak luas di antara para ilmuwan khususnya Eropa, dan Eugène Dubois tetap dengan pendirian awalnya itu. Peristiwa ini telah mendudukkan Indonesia dalam paleoantropologi dunia melonjak hebat. Dalam masa Klasik dan Islam di Nusantara disinyalir beberapa raja atau penguasanya telah menapakkan cap kakinya ke suatu media sebagai tanda untuk suatu tujuan kekuasaan atau titahnya dalam beragam temuan atau situs arkeologis.
Berjalan telanjang kaki, seperti perjalanan kaleidoskop kehidupan manusia, adalah menggambarkan bagaimana manusia telah berjalan selama jutaan tahun. Pengalaman ini memberikan suatu kesempatan untuk mempelajari bagaimana seleksi alam mengadaptasi badan manusia untuk berjalan. Di sini manusia telah mengembangkan kemampuan untuk berjalan telanjang kaki, suatu gaya berjalan yang meminimalkan dampak terburuk dan menghadirkan peningkatan proprioception (istilah anatomis yang merujuk kepada suatu sensasi yang dirasakan bagian badan, terutama ekstremitas-ekstremitas dan otot-ototnya, tatkala melakukan gerakan) dan kekuatan kaki, yang dihipotesiskan untuk membantu meminimalkan cedera, terlepas dari apakah seseorang itu beralas-kaki.
Bipedalisme adalah bentuk lokomosi Primates yang sangat khusus dan tidak biasa yang saat ini hanya didapati pada manusia. Mayoritas taxa yang telah punah dalam Homininae adalah bipedal, namun sejauh mana mereka bipedal masih menyisakan subjek perdebatan yang cukup hangat. Tahap awal, terjadi pergeseran ke kebiasaan bipedalisme, sebagaimana ditandai oleh beberapa anggota Australopithecus. Taxa tersebut adalah bipedal, namun masih mempertahankan sejumlah adaptasi yang signifikan untuk memanjat arboreal. Tahap berikutnya adalah untuk sepenuhnya menjadi bipedal, dan ini bertepatan dengan munculnya genus Homo. Pada awal Pleistosen, telah diperoleh beberapa rangka postcranial Homo yang telah menunjukkan sepenuhnya melangkah bipedal mirip manusia. Sebenarnya ada banyak penjelasan teoretis tentang fenomena itu, namun yang paling kuat bukti dan argumentasinya adalah tetap yang terkait dengan munculnya habitat yang lebih terbuka; di mana pergeseran lingkungan akan melibatkan pilihan yang kuat untuk strategi perilaku baru yang paling mungkin terkait dengan pengadaan makanan yang efisien.
Sebuah temuan baru rangka kaki hominin parsial di kawasan Afar Tengah, Ethiopia, menunjukkan keberadaan lebih dari satu adaptasi lokomotor hominin pada sekitar 3,4 juta tahun yang lalu atau awal Pliosen Akhir. Mereka menunjukkan bahwa elemen-elemen pedal baru berasal dari satu spesies yang tidak dapat disebut serupa dengan Australopithecus afarensis kontemporer dalam morfologi dan adaptasi lokomotornya, melainkan lebih mirip dengan Ardipithecus ramidus yang lebih purba yang mana memiliki sebuah telapak kaki besar saling berlawanan. Hal ini tidak hanya menunjukkan keberadaan lebih dari satu spesies hominin pada awal Pliosen Akhir dari Afrika Timur, tetapi juga menunjukkan kehadiran suatu spesies dengan adaptasi lokomotor yang menyerupai Ardipithecus ramidus dalam Pliosen Akhir.
Suatu eksperimen yang telah dilakukan oleh Cunningham dkk. menyimpulkan bahwa manusia adalah pejalan kaki yang paling ekonomis, tetapi bukan pelari yang paling ekonomis. Jika kita tengok sebentar ke para pemburu-pengumpul yang sanggup melakukan perjalanan jauh untuk mendapatkan kecukupan nutrisinya, tentu ini bukan hal yang sangat mengejutkan, karena manusia telah memperoleh warisan postur kaki-kakinya dari para leluhur kita, hominid-hominid arboreal.
Konsekuensi bipedal itu memaksa beban tubuh* manusia terkonsentrasi di bagian median badan*. (*Dalam biologi manusia dibedakan antara tubuh dan badan). Anda bisa bayangkan suatu benda yang awalnya horizontal menjadi vertikal. Leluhur kita yang relatif quandropedal (awam: berjalan dengan empat kaki) lambat-laun menuju ke perawakan yang bipedal (awam: berjalan dengan dua kaki). Saat ini beban tubuh itu bertumpu pada panggul. Di sini tulang-tulang panggul manusia menjadi makin terbebani dan tertekan. Kondisi tulang panggulnya (bisa berupa coxae atau pelvis bersama sacrum-nya) makin memendek, membundar dan melebar.
Pada perempuan, kondisi tulang panggulnya (bisa berupa coxae atau pelvis bersama sacrum-nya) yang berubah itu berkonsekuensi pada durasi masa kehamilan dan persalinan manusia. Semakin bipedal menjadikan masa kehamilan relatif memendek – jadi tidak usah heran jika reproduksi manusia makin berlipat-lipat saat ini. Jadi sebenarnya bayi-bayi manusia itu lahir terlalu prematur. Mereka lahir terlalu dini dengan kondisi badan yang ringkih dan rentan. Beberapa ahli menyebut jika mengikuti tabiat biologis dalam Mammalia, maka janin manusia dalam rahim sejatinya sekitar dua tahun. Ternyata bayi manusia itu sudah pingin keluar rahim ibu cuma sekitar sembilan bulan saja. Kita dapat saksikan pada bayi-bayi sapi, kuda, rusa, kambing, babi dst.; begitu lahir sudah dapat berdiri, dan beberapa jam kemudian sudah dapat berjalan-jalan, dan tidak perlu waktu sangat lama sudah mampu berlari-lari kesana-kemari. Bagaimana bayi-bayi manusia saat setelah baru dilahirkan? Tentu saja mereka masih tidak berdaya. Secara evolusi neurologis, justru ini keistimewaan manusia yang berkapasitas otak sekitar 2200 – 2500 cc saat ini, yakni otaknya masih mempunyai potensi sangat luar biasa untuk bertumbuh dan berkembang karena rangsangan luar yang berupa lingkungan abiotik dan biotik, serta enkulturasi dan internalisasi dari lingkungan sekitarnya. Beda dengan banyak hewan, di mana secara neurologis, mereka lahir langsung dalam kondisi relatif lengkap dan statis – tidak ada perubahan signifikan dengan kecerdasannya.
Rupanya perubahan kapasitas otak manusia itu ada konsekuensi anatomis pada tengkoraknya, di mana rongga otak makin membesar, diikuti makin menipiskan pelindunganya – jadi tidak perlu heran jika cedera dan trauma otak makin sering terjadi pada manusia karena beragam peristiwa, antara lain terjatuh, terpukul benda tumpul dan tajam, terbentur dan tertimpa benda keras, dst. Seturut itu manusia juga berupaya untuk melindungi otaknya dengan beragam piranti. Banyak tempat kerja yang mewajibkan pakai helm yang safety bagi para karyawan dan tamunya. Kalau anda bersepeda dan bermotor seyogyanya gunakanlah helm. Jika ada pengendara motor di jalan raya yang tidak menggunakan pelindung kepala (helm), mungkin yang bersangkutan masih merasa sebagai manusia purba, atau bahkan kera.
Oleh : Rusyad Adi Suriyanto, M.Hum.
Recent Comments