Mengenang Prof. Dr. T. Jacob, M.S., M.D., D.Sc. Sang Pionir dan Begawan Paleoantropologi Indonesia
(6 Desember 1929 – 17 Oktober 2007)
Rusyad Adi Suriyanto
(Bagian Pertama)
Jacob pernah menyebut paleoantropologi adalah ilmu manusia purba. Dalam arti luas, ilmu ini meliputi tidak hanya manusia, tetapi juga karya dan lingkungannya; dan dalam arti sempit, ilmu ini mempelajari evolusi dan variasi biologis manusia purba (early men), serta biasanya ilmu ini juga dapat meliputi kajian tentang manusia kuno (ancient men), sejak akhir Pleistosen hingga beberapa ratus tahun yang lalu. Pendek kalimat, konsentrasi kajian paleoantropologi ini meliputi babakan akhir liputan paleoprimatologi hingga liputan awal antropologi historis. Pastilah sisa-sisanya yang ditemukan itu berupa sampel kebetulan, yang kemudian direkonstruksi untuk mengetahui biologinya, dan jika memungkinkan kondisinya, aspek biokultural dan ekologisnya. Umumnya, makin purba temuan-temuannya, maka makin sedikit jumlahnya dan makin fragmentaris keadaannya. Jadi, tujuan paleoantropologi adalah mengetahui kehidupan biokultural manusia sejak kemunculannya di bumi, evolusinya melalui masa dan wilayah distribusinya selama dan seluas mungkin. Di mana Indonesia telah dihuni oleh manusia purba dan kuno dari masa sekitar 1,9 juta tahun yang lalu; oleh karena itu, Indonesia dapat menjadi miniatur untuk mempelajari evolusi manusia dan evolusi ekosistem manusia.
Indonesia merupakan sangat sedikit negara yang beruntung sekali telah dianugerahi alam yang memiliki cukup banyak situs manusia purba yang penting. Anugerah sebagai negara yang bermonumen alam banyak gunung berapi (aktif) di setiap pulau-pulaunya, dan merupakan rangkaian the Pacific ring of fire, maka material-material vulkanisnya telah mampu untuk mengubah material-material organis menjadi anorganis dan mengawetkannya di suatu area (fosil-fosil, situs-situs paleontologis/ paleoantropologis). Situs-situs ini membentang dari Aceh sampai Papua. Yang tertua antikuitasnya dan sangat penting untuk penelitian Homo erectus adalah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Berturut-turut selain Jawa – selanjutnya dalam persebaran Homo sapiens dari Mesolitik sampai Neolitik – antara lain Sumatra, Bali, Kepulauan Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur dan terus ditelusur yang mungkin dapat dijumpai di pulau-pulau lain Nusantara kita.
Indonesia adalah salah satu negeri yang sangat penting untuk mempelajari evolusi manusia dan sejarah alam persebaran manusia di muka bumi. Negeri ini pernah dihuni oleh Meganthropus sp., Homo erectus dan Homo sapiens. Meganthropus sp. yang telah ditemukan di Sangiran mempunyai kepurbaan 1,66 ± 0,04 juta tahun. Homo erectus tertua adalah Homo erectus robustus atau Homo erectus Mojokerto (yang dikenal sebagai Mojokerto child) yang telah ditemukan di Perning, Mojokerto (yang saat ini masuk wilayah Kepuh Klagen, Wringinanom, Gresik, Jawa Timur) dan mempunyai kepurbaan 1,81 ± 0,04 juta tahun, bahkan beberapa sampel petrologisnya dengan metode potassium-argon menghasilkan kepurbaan 1,9 ± 0,4 juta tahun. Walaupun kemudian ada yang menyangsikan umur kepurbaannya, dan menyebutkan umur kepurbaannya tidak lebih dari 1,49 juta tahun, dan bahkan Pleistosen Tengah berdasarkan biostratigarafi khususnya fauna Hippopotamus namadicus dan Sus brachygnathus. Jacob telah mengajukan lagi hasil penelitian kronometrik fosil ini berdasarkan matriks-matriks geologis endokranialnya, dan mengumumkan kembali bahwa umurnya tidak berbeda dengan hasil dating yang pertama. Sekitar sepertiga temuan Homo erectus di dunia telah ditemukan di Indonesia. Homo floresiensis dari Flores makin menambah variasi temuan genus Homo di Indonesia. Homo sapiens yang telah ditemukan di Wajak (Campurdarat, Tulungagung, Jawa Timur) berantikuitas 6.560 – 10.560 BP, walaupun sebenarnya antikuitas ini masih memunculkan perdebatan-perdebatan. Riset terkini mengumumkan lagi hasil pertanggalannya yang menunjukkan umur minimal 28,5 – 37,4 ribu tahun yang lalu. Populasi Homo sapiens Neolitik di Indonesia terdiri atas dua subspesies: Australomelanesoid dan Mongoloid. Mereka sangat penting untuk mempelajari sejarah migrasi dan persebaran manusia, khususnya Asia Tenggara, Asia Timur, Australia bahkan sampai ke Kepulauan Pasifik. Menurut katalog temuan hominid di Indonesia sampai tahun 2003 berjumlah 129 fosil hominid yang berasal dari Wajak, Kedungbrubus, Trinil, Perning, Ngandong, Sangiran, Sambungmacan, Patiayam dan Ngawi. Jika ditarik dari tahun 1975, maka temuan itu telah bertambah 65 fosil hominid sampai tahun 2003. Sesudah itu, temuan masih terus bertambah, walaupun kuantitasnya tidak seperti tahun-tahun sebelumnya.
Indonesia mempunyai kedudukan terhormat dan sangat penting di dunia untuk hasil-hasil penelitian manusia purba atau evolusi manusia beserta lingkungan abiotik, biotik dan kulturalnya. Di sini banyak terdapat situs paleoantropologis dengan temuan-temuan fosil hominid, selain fauna, flora dan artefak prasejarah yang relatif melimpah dengan kepurbaan yang relatif tinggi. Temuan itu meliputi temuan tertua dari masa sekitar 1,9 juta tahun yang lalu di Kepuh Klagen, Wringinanom, Gresik, sampai temuan yang termuda dari masa 117 – 108 ribu tahun yang lalu di Ngandong, Blora, sebagai penanda akhir dari kehidupan Homo erectus di bumi. Khususnya kuantitas temuan Homo erectus yang dapat menyaingi hanya Cina saja di Asia, namun sejauh ini fosil tertuanya masih terdapat di Indonesia, dan tersimpan di Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi, Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada. Peranan temuan-temuan ini dapat menerangkan evolusi manusia di Indonesia, Asia Tenggara, dan bahkan juga dapat menyumbangkan pengetahuan-pengetahuan yang dikaitkan dengan temuan-temuan terpurba dari Afrika, temuan-temuan hominid lain di Eropa, Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Selatan, dan pada babakan tertentu dapat memberikan informasi untuk sejarah migrasi dan penghunian daratan-daratan Pasifik dari Papua New Guinea, Australia, Selandia Baru, dan kepulauan dalam wilayah Mikronesia, Melanesia dan Polinesia.
Penelitian-penelitian paleoantropologis dan evolusi manusia berdasarkan temuan fosil-fosil hominid dan sisa-sisa manusia kuno sampai modern beserta situs-situs dan asosiasi-asosiasinya telah melangkah sangat maju. Berbagai teknik penentuan umur absolut untuk mengetahui kepurbaannya telah diupayakan terus-menerus oleh para ahli dengan berbagai metode. Kronometrinya telah menerapkan Ar/Ar, K/Ar, gamma-ray spectrometric dating dan carbon-oxygen isotope. Bagi Jacob, hasil pertanggalan temuan Homo erectus Jawa (Indonesia) yang bisa mencapai 1,9 juta tahun yang lalu yang diragukan banyak ilmuwan paleontologi/ paleoantropologi/ arkeologi prasejarah Barat bukan hal yang mengejutkan. Mereka berargumentasi bahwa tidak mungkin hominid dapat muncul dan hidup dari kawasan periferi dan kuldesak benua dengan umur kepurbaan yang setua itu. Jacob menegaskan bahwa evolusi hominid itu tidak melulu di daratan benua saja, evolusi hominid itu bisa terjadi di daratan mana pun, apakah itu benua atau kepulauan, selama ditunjang oleh ESA (energy, sustainable & area).
Keraguan banyak ilmuwan paleontologi/ paleoantropologi/ arkeologi prasejarah Barat lain yang sanggup dijelaskan dengan argumentasi jernih oleh Jacob, antara lain tentang asal-usul bertutur dan kanibalisme pada Homo erectus Jawa. Petunjuk Homo erectus mampu bertutur hanya berupa bukti tengkorak fosilnya yang relatif fragmenter dan tidak lengkap. Banyak fosil tengkorak Homo erectus Jawa yang sudah kehilangan basisnya karena proses taphonomisnya. Bukti kemampuan bertutur dapat dilihat pada jejak-jejak groove dan sinus di bagian dalam tengkoraknya. Saat ini fosil-fosil tengkorak itu makin mudah diamati dan dianalisis bagian dalam tengkoraknya – baik tanpa matriks maupun masih terisi matriks – dengan 3D CT scan, dan dapat dicetak 3D reconstruction-nya untuk analisis morfologis lanjut otaknya. Kemampauan bertutur mereka juga ditunjukkan oleh bentuk dan posisi foramen magnum (lubang pada basis tengkorak yang berhubungan dengan leher). Foramen magnum mereka belum membundar dan masih dalam posisi relatif posterior (seperti pada fosil tengkorak Homo erectus Ngandong); oleh karena itu tenggorokannya terhadap mulut dan hidung belum tegak lurus seperti “huruf L terbalik”, tetapi masih relatif melengkung seperti tenggorokan anak-anak yang baru mampu berbicara. Pada individu hidup tenggorokan ini terletak di belakang mulut di bawah lubang hidung berbentuk seperti tabung berotot yang dapat menjadi saluran distribusi makanan dan udara. Organ ini berupa otot, dan bagian bawah bercabang menjadi dua saluran yang lebih kecil, yakni esofagus atau kerongkongan dan laring. Organ ini merupakan bagian dari sistem pernapasan sekaligus sistem pencernaan. Bagian teratasnya adalah nasofaring, berikutnya orofaring dan terbawahnya hipofaring atau laringofaring. Nasofaring dan laringofaring merupakan bagian dari sistem pernapasan, sedangkan orofaring berperan pada sistem pencernaan maupun pernapasan. Dengan kondisi itu kita dapat mendeskripsikan bahwa Homo erectus masih sangat terbatas bertuturnya. Komunikasi mereka menggunakan bahasa oral dengan masih banyak bantuan bahasa isyarat. Jacob menyebut Homo erectus Jawa masih dalam kemampuan protobahasa. Secara berseloroh saya dapat mengatakan bahwa Homo erectus itu sedikit bicara banyak kerja; sebaliknya Homo sapiens seperti kita saat ini makin banyak bicara sedikit kerja.
Argumentasi Jacob tetap berlandaskan paradigma osteologis-anatomis dan biologi populasional terhadap adanya dugaan kanibalisme pada Homo erectus Jawa yang dilontarkan oleh banyak ilmuwan paleontologi/ paleoantropologi/ arkeologi prasejarah Barat terkait dengan banyaknya fosil tengkoraknya yang sudah tidak memiliki basis kranial, dan masih berlangsungnya tradisi kanibalisme di beberapa etnis di Indonesia kala itu.
Recent Comments